Sabtu, 29 Desember 2012

Tata cara sholat orang sakit

Tata Cara Salat Orang Sakitierfus.com
08/23/2002 - Arsip Fiqh
Cara-cara salat bagi orang yang sakit secara garis besar adalah sebagai berikut.

  1. Orang yang sakit wajib melaksanakan salat fardhu dengan berdiri, sekalipun bersandar ke dinding atau ke tiang atau dengan tongkat.
  2. Jika tidak sanggup salat berdiri, hendaklah ia salat dengan duduk. Lalu, pada waktu berdiri dan ruku' sebaiknya duduk bersila, sedangkan pada waktu sujud, sebaiknya dia duduk iftirasy (seperti duduk ketika tasyahhud awal).
  3. Jika tidak sanggup salat sambil duduk, boleh salat sambil berbaring, bertumpu pada sisi badan menghadap kiblat. Dan bertumpu pada sisi kanan lebih utama daripada sisi kiri. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat, boleh menghadap ke mana saja dan tidak perlu mengulangi salatnya.
  4. Jika tidak sanggup salat berbaring, boleh salat sambil terlentang dengan menghadapkan kedua kaki ke kiblat. Dan, yang lebih utama yaitu dengan mengangkat kepala untuk menghadap kiblat. Jika tidak bisa menghadapkan kedua kakinya ke kiblat, dibolehkan salat menghadap ke mana saja.
  5. Orang sakit wajib melaksanakan ruku' dan sujud, jika tidak sanggup, cukup dengan membungkukkan badan pada ruku' dan sujud, dan ketika sujud hendaknya lebih rendah dari ruku'. Dan jika sanggup ruku' saja dan tidak sanggup sujud, dia boleh ruku' saja dan menundukkan kepala saat sujud. Demikian pula sebaliknya, jika dia sanggup sujud saja dan tidak sanggup ruku', dia boleh sujud saja dan ketika ruku' dia menundukkan kepala.
  6. Isyarat dengan mata (memejamkan mata) ketika ruku' dan dengan memejamkan lebih kuat ketika sujud. Adapun isyarat dengan telunjuk, seperti yang dilakukan beberapa orang sakit, itu tidak betul dan penulis tidak pernah tahu dalil-dalilnya, baik dalil dari Alquran maupun as-sunnah, dan tidak pula dari perkataan para ulama.
  7. Jika tidak sanggup juga salat dengan menggerakkan kepala dan isyarat mata, hendaklah ia salat dengan hatinya, dia berniat ruku', sujud dan berdiri serta duduk. Masing-masing orang akan diganjar sesuai dengan niatnya.
  8. Orang yang sakit wajib melaksanakan semua kewajiban salat tepat pada waktunya menurut kemampuannya. Jika termasuk orang yang kesulitan berwudhu, dia boleh menjamak salatnya seperti layaknya seorang musafir.
  9. Jika dia sulit untuk salat pada waktunya, boleh menjamak antara Dhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya, baik jamak taqdim maupun jamak takhir, sesuai dengan kemampuannya. Kalau dia mau, dia boleh memajukan salat Asharnya digabung dengan Dhuhur, atau mengakhirkan Dhuhurnya digabung dengan Ashar di waktu Ashar. Jika mau, boleh juga dia memajukan salat Isya untuk digabung dengan salat Maghrib di waktu Maghrib atau sebaliknya. Adapun salat Subuh, maka tidak boleh dijamak dengan salat yang sebelumnya atau sesudahnya karena waktunya terpisah dari waktu salat sebelumnya dan salat sesudahnya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya, "Dan dirikanlah salat dari sesudah tergelincirnya matahari sampai gelap malam, dan (dirikanlah pula) salat Subuh. Sesungguhnya salat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat)." (Al-Isra': 78)
Sumber: Diadaptasi dari Tuntunan Salat Menurut Alquran dan Hadis, Syekh Abdurrahman Jibrin

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

aswaja


ASWAJA

Kiprah NU Dalam Kemerdekaan


Pembimbing:
Agus Salim, S.Ag, M.PdI



Tim Penyusun ;

Supriadi
Nurul Mufida
Joko Priyono
Misbahul Munir



Sekolah Tinggi Agama Islam
AL-QOLAM
Jl. Raya Putat Lor Gondanglegi Malang



KATA PENGANTAR

            Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Bissmillahirohmanirrohim

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan setetes rahmat serta hidayah kepada kami untuk menuangkan gagasan melalui goresan hitam di atas lembar-lembar kosong, sehingga kami bisa menyelesaikannya menjadi bentuk makalah yang mungkin bisa dijadikan bahan rujukan dalam materi kuliah kiprah NU didalam kemerdekaan.
Solawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah menyelamatkan kita dari zaman kebodohan menuju zaman yang penuh iman dan ketaqwaan, yaitu agama islam sebagaimana yang kita rasakan sekarang ini. Amin
Terimakasih kami haturkan kepada semua sahabat-sahabat tercinta yang telah ikut berpartisipasi atas selesainya makalah ini. Terutama kepada dosen pembimbing kami yaitu Agus salim S.Ag, M.PdI yang telah banyak memberikan pengarahan serta dukungan.
Kami sebagai manusia biasa yang jauh dari kesempurnaan menyadari akan kelemahan kami, sehingga kritik dan saran yang sifatnya membangun selalu kami tunggu demi kelengkapan dan kesempurnaan makalah ini. Akhirnya kami berharap semoga sekelumit dari setiap lembar makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Amin

Wasslamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Malang,15 Desember 2012

Tim penyusun





DAFTAR ISI
Kata Pengantar.......................................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................................. ii
BAB I: PENDAHULUAN
A.Latar Belakang...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................................. 1
C.Tujuan Penulisan................................................................................................ ....1
BAB II .PEMBAHASAN
A.     Kiprah NU Dalam  Mendirikan NKRI  .............................................................2
B.  Kontribusi NU Terhadap Bangsa dan Negara ...................................................4
BAB III: PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................................... …8
B.Saran ……………………………………………………………………………8









BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Nahdaltul ulama adalah organisasi soial keagamaan yang berhaulan Ahlussunnah wal jama’ah. organisasi ini didirikan pada tanggal 31 januari 1926, oleh ulama’ yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai wadah untuk mempersatukan diri dan langkah dan di dalam tugas memelihara, melestarikan, agama Islam. Nahdlatul Ulama didirikan dengan tujuan untuk berlakunya ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menganut salah satu empat mazhab di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari penjelasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa NU itu ikut berpartisipasi dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia ini dan melawan penjajah dari muka bumi ini. Dalam  makalah ini akan dijelaskan tentang amal bakti NU terhadap bangsa dan Negara Republik Indonesia secara ringkas.

B. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana peranan NU dalam  mendirikan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)
2.      Apa  kontribusi NU terhadap bangsa dan negara Indonesia

C. Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui peranan NU dalam  mendirikan NKRI (Negara Kesatuan Republik       Indonesia)
2.      Mengetahui kontribusi NU terhadap bangsa dan negara Indonesia


BAB II
PEMBAHASAN

A.     kiprah NU dalam  Mendirikan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)
Keterlibatan NU untuk memperjuangkan berdirinya Republik terus berlanjut ketika Jepang datang menggantikan penjajah Belanda pada tahun 1942. penguasa Jepang sejak awal lebih condong bekerjasama dengan para pemimpin Islam, ketimbang pemimpin tradisional atau pemimpin nasionalis. Kecondongan ini terjadi karena Jepang menganggap para kyai yang memimpin pesantren merupakan pendidikan masyarakat pedesaan, sehingga dapat dijadikan alat propaganda yang efektif. Sebagai imbalannya para pemimpin Islam diberi kemudahan dalam urusan keagamaan. Kecondongan Jepang yang seperti itu tidak diabaikan oleh NU. Alsannya bukan karena mau dijadikan sebagai propagandis melainkan untuk memanfaatkan kesempatan untuk mensosialisasikan keinginan untuk merdeka. Ketika jepang membentuk kantor urusan agama yang membentuk jaringan langsung para kyai pedesaan dan memberi pelatihan terhadap para kyai dengan mengajarkan sejarah, kewarganegaraan, olahraga senam dan bahasa Jepang, bukan malah membawa kyai tunduk pada Jepang tetapi sebaliknya, terjadi politisi di kalangan kyai.
Siasat yang dibuat NU tersebut tercium oleh Jepang KH. Hasyim Asy’ari ditangkap dengan alasan yang tidak jelas. Terjadi kegoncangan di tubuh organisasi NU. Kegoncangan bertambah hebat ketika KH. Mahfudz Shiddiq ikut ditangkap dengan tuduhan melakukan gerakan anti Jepang. Penangkapan itu terus terjadi pada ulama-ulama lain di Jawa Tengah dan jawa Barat dengan tuduhan yang sama yakni gerakan anti Jepang. KH. Wahab Hasbullah mengeliminir kegoncangan yang terjadi dalam NU dengan melakukan lobi ke beberapa pejabat Jepang. Seperti Saiko Siki Kan, Gunseikan, dan Shuutyokan.
Untuk memperkuat kekuatan militernya, Jepang membentuk kekuatan sukarela Indonesia yakni PETA, PETA diikuti banyak orang Indonesia dari berbagai kalangan tak terkecuali umat Islam para kyai. Kenapa orang Indonesia mau menjadi PETA, padahal mereka tahu pembentukan PETA dimaksudkan untuk membantu tentara Jepang menghadapi sekutu yang akan dating ke Jawa ? masuknya orang Indonesia ke PETA lebih karena untuk mengetahui seluk-beluk kemiliteran dan mengangankan mendapat peranan politik yang lebih besar di masa yang akan dating, bukan karena ingin membantu Jepang.
Selain itu, pemeritnah Jepang akan membubarkan organisasi social-politik-keagamaan yang tidak mau diajak bekerjasama, sebaliknya yang masih mau diajak kerjasama akan dikooptasi. MIAI dibubarkan oleh Jepang pada tahun 1943 dan diganti dengan Masyumi yang menyatakan siap membantuk kepentingan Jepang. Hanya NU dan Muhammadiyah yang diperbolehkan secara sah oleh Jepang untuk menjadi anggota Masyumi. Pada tahun 1944, NU pertama kalinya masuk ke dalam struktur pemerintahan dengan diangkatnya KH. Hasyim Asy’ari sebagai ketua Shumubu (Kantor Urusan Agama). Pada tahun itu juga KH. Wahid Hasyim berhasil melobi Jepang untuk memberikan pelatihan militer khusus kepada para santri dan mengizinkan mereka membentuk barisan pertahanan rakyat tersendiri yakni Hisbullah dan Sabilillah.
Pada tanggal 7 september 1944, Perdana Menteri Jepang Kuaki Kaiso menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia. Janji itu dilontarkan karena di beberapa medan pertempuran, Jepang mengalami kekalahan terhadap Sekutu. Janji itu kemudian di respons secara posisi oleh Pimpinan Kongres Umat Islam sedunia, Syekh Muhammad al-Husaini dari Palestina dengan cara mengirimkan surat kepada pemerintahan Jepang melalui Duta Besar berkuasa penuh pemerintah Jepang melalui Duta Besar berkuasa penuh pemerintah Jepang untuk Jerman surat itu juga ditembuskan kepada KH. Hasyim Asy’ari. Dengan cepat KH Hasyim menyelenggarakan rapat khusus Masyumi pada tanggal 12 Oktover 1944 yang menghasilkan resolusi ditujukan kepada pemerintah Jepang.
Resolusi tersebut berisi; pertama, mempersiapkan umat Islam Indoensia agar mampu dan siap menerima kemerdekaan Indonesia dan agama islam. Kedua, mengaktifkan kekuatan umat Islam Indonesia untuk memastikan terlaksanya kemenangan final dan mengatasi setiap rintangan dan serangan musuh yang mungkin berusaha menghalangi kemajuan kemerdekaan Indoensia dan agama Islam. Ketiga, bertempur dengan sekuat tenaga bersama Jepang Raya di jalan Allah untuk mengalahkan musuh, menyebarkan resolusi ini kepada seluruh tentara Jepang dan kepada segenap bangsa Indoensia. Berbagai fasilitas dan kemudahan yang diberikan oleh Jepang dimanfaatkan umat Islam untuk menyadarkan masyarakat akan hak-hak politiknya di masa depan.
Untuk mematangkan persiapan Indonesia menyambut kemerdekaanya, pada tanggal 29 April 1945 dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang anggotanya berjulah 62 orang diketahui oleh Soekarno dan Muhammad Hatta sebagai wakilnya juga di dalamnya KH. Wahid Hasyim sebagai anggota. BPUPKI selain menyusun Undang-Undang Dasar (UUD) bakal republic, didalamnya juga muncul pembicaraan mengenai bentuk Negara. Polarisasi pendapat didalam BPUPKI Mengenai bentuk Negara ada; satu pihak menginginkan Indoensia menjadi Negara Islam, pihak lainnya menginginkan Indonesia menjadi ngara kesatuan nasional yang memisahkan Negara dan agama. Di BPUPKI inilah Soekarno meletakkan dasar-dasar bakal Negara Indonesia.
Sebagian umat Islam menginginkan dibentuknya Negara Islam sehingga memungkinkan dilaksanakannya syari’at Islam secara penuh. Menurut Soekarno ada dua pilihan tentang bentuk Negara Indonesia yakni persatuan staat-agama tetapi sonder demokrasi atau demokrasi tetapi staat dipisahkan dari agama. Soekarno condong memilih pilihan yang kedua. Menurutnya, Negara demokrasi dengan memisahkan agama dari Negara tidak mengabaikan (nilai-nilai) agama. (nilai-nilai) agama bias dimasukkan ke dalam hokum yang berlaku dengan usaha mengontrol parlemen, sehingga undang-undang yang dihasilkan parlemen sesuai dengan Islam. Kalau mayoritas anggota parlemen bukan umat Islam. Pemikran Soekarno yang seperti ini, menurut istilah sekarang subtansialistik, yaitu menginginkan dilaksanannya ajaran Islam, tetapi tidak setuju terhadap formalisasi ajaran Islam.
Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengusulkan agar ngara Indonesia didasarkan pada Pancasila atau lima dasar, yakni; 1) Kebangsaan, 2) Internasionalisme, perikemanusiaan; 3) permusyawaratan, mufakat; 4) Kesejahteraan; 5) Ketuhanan.
Polarisasi di BPUPKI tidak berhenti begitu saja, perdebatan sengit untuk tentang sila Ketuhan yang Maha Esa dengan ewajiban melaksanakan syari’at agama Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tujuan kata terkahir mendapat tentangan keras dari kelompok nasionalis-sekuler-kristen. Perdebatan ini menurun ketika para pemimpin nasionalis-muslim seperti Wakhid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan Bagus Hadikusumo dalam pretemuannya dengan hatta menjelang siding PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, sepakat untuk mencabut tujuh kalimat dalam piagam Jakarta yang menjadi titik sengketa dengan kelompok nasionalis-sekuler-kristen. Piagam Jakarta adalah hasil rumusan dari tim sembilan anggota PPKI yang bertugas merumuskan tentang dasar Negara. Sikap ketiga pemimpin nasionalais muslim tersebut merupakan kelanutan dari diskusi antara KH Wahid Hasyim, KH. Masykur dan Kahar Muzakir (PII) dengan Soekarno pada akhir Mei 1945.


B.    Kontribusi NU Terhadap Bangsa dan Negara Indonesia
Keterlibatan NU dalam pergerakan untuk mewujudkan Indonesia merdeka keberadaanya tidak bisa dipungkiri. Secara doktriner, NU menganggap bahwa kewajiban berbangsa dan bernegara adalah merupakan sesuatu yang final. Abdurrrahman Wahid menggambarkan bahwa eksistensi Negara mengharuskan adanya ketaatan terhadap pemerintah sebagai mekanisme pengaturan hidup, yang dilepaskan dari perilaku pemegang kekuasaan dalam kapasitas pribadi. Kesalahan tindakan atau keputusan pemegang kekuasaan tidaklah mengharuskan adanya perubahan dari system pemerintahan. Konsekuensi pandangan ini adalah begitu ia berdiri dan mampu bertahan, dan penolakan system alternative sebagai pemecahan masalah-masalah utama suatu bangsa yang telah berbentuk suatu Negara. Dengan demikian cara-cara yang digunakan dalam melakukan perubahan senantiasa bercorak gradual.
Gagasan yang dikedepankan pertama kali ketika NU dibentuk, bukanlah dari wawasan politik, melainkan dari wawasan social keagamaan. Walaupun demikian, tidak berarti wawasan tersebut lantas menjadikan NU mengabaikan persoalan politik. Anggaran Dasar NU yang ditetapkan pada muktamar ke-3 tahun 1928 tidak menyebutkan secara eksplisi mengenai perhatiannya terhadap persoalan politik. Yang disebut di dalam Anggaran Dasar tersebut adalah tujuan-tujuan social keagamaan. Di situ disebutkan bahwa yang ingin dipertahankan NU adalah ajaran Islam yang terikat pada mazhab dan mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan bagi agama islam.
Strategi yang digunakan dalam gerakan cultural NU ini adalah, pertama, strategi dakwah dalam arti melakukan kegiatan dakwah dengan pengabdian yang ikhlas, serta mengembangkan berbagai kegiatan keswadayaan lainnya terhadap para santri dan masyarakat desa pada umumnya. Pesantren dan Pedesaan menjadi basis massa NU. Kedua, strategi kooperasi terbatas dengan kaum penjajah, dalam arti meskipun bersikap menentang penjajah tetapi tetap memperhatikan keselamatan organisasi dan jama’ah dibawah tekanan kekuasaan penjajah.
Penjelasan lain menyebutkan bahwa anggaran Dasar NU mencerminkan sikap NU yang tidak sepaham dengan ide-ide dan gerakan kelompok pembaharu. Sedang sikap NU terhadap penjajah tidak tercantum secara jelas.
Sikap dan pandangan terhadap penjajah Belanda terbaca dari perjalannya yang kemudian disebut sebagai sikap koperatif terbatas atau akomodatif, yaitu bersdia bekerja sama dengan penjajah Belanda ketika berkaitan dengan keselamatan umat Islam dan menentangnya ketika berkaitan dengan kebijakan-kebijakan Belanda yang merugikan atau bahkan mengancam umat Islam.
Sikap-sikap NU yang bekerjasama dengan penjajah belanda dapat dilihat pada keikutsertaannya dalam siding Kantoor voor inlansche Zaken di Jakarta pada tahun 1929 yang membicarakan soal perkawinan umat Islam dan perbaikan organisasi penghulu. Atas prakarsa C. Gobee, adviseur pada kantor tersebut, pemerintah Hindia Belanda ingin memperbaiki peraturan tentang perkawinan umat Islam. Peraturan yang direncanakan pada pokoknya mengatur tentang nikah, talak, rukun dan harus dilakukan menurut prosedur administrasi dan aturan hokum formal, dilaksanakan di depan penghulu, menyerahkan surat keterangan dari desa, cukup umur dan membayar biaya tertentu.
Pada muktamar di Banjarmasin tahun 1939, NU mengeluarkan keputusan yang menyebutkan bahwa Indonesia merupakan dar al-islam. Keputusan ini bertolak belakang dengan kenyataan, Indonesia yang berada dalam genggaman jajahan Belanda yang bukan Islam.
Alasan peserta muktamar adalah bahwa mayoritas masyarakat Indonesia adalah beragama Islam dan umat diberi keleluasaan untuk menjalan syari’at agamanya, dan juga karena Indonesia pernah diperintah oleh kerajaan Islam seperti Demak yang mengambil alih dari kerajaan Majapahit. Lagipula, pada tahun 1929 telah dibentuk lembaga kepenghuluan, sehingga memungkinkan umat Islam untuk menjalankan syari’at agama, walau terbatas, tahun secara penuh.
Sikap-sikap yang menunjukkan keengganan bekerjasama dengan pemerintah Kolonial Belanda di antaranya; pada tahun 1930-an, NU menolak peraturan pemerintah mengenai guru-guru sekolah yang memberlakukan Administrasi yang lebih ketat terhadap sekolah-sekolah, termasuk pesantren. Pemerintah colonial mengancam kehidupan sekolah yang pengelolaannya kurang teratur. Pada tahun 1931, NU juga memprotes penarikan masalah-masalah waris dari wewenang peradilan agama.
NU menolak peniruan terhadap pakaian ala Belanda semisal dasi, celana, jas oleh umat Islam. Penolakan ini tidak karena pertimbangan agama, karena agama tidak pernah mengharamkan pakaian selama pakaian tersebut baik dan menurut aurat. Namun penolakan ini, seperti dipaparkan oleh Laode Ida adalah sebagai siasat yang sifatnya politis, yaitu, dimaksudkan sebagai basis pertahanan terakhir kaum muslim terhadap bahaya serangan dan kepungan kaum penjajah atau merupakan basis penumbuhan nasionalisme di kalangan santri yang secara tidak langsung membangun kaum santri untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan makalah diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa: Keterlibatan NU dalam pergerakan untuk mewujudkan Indonesia merdeka keberadaanya tidak bisa dipungkiri. Secara doktriner, NU mengangap bahwa kewajiban berbangsa dan bernegara adalah merupakan sesuatu yang final. Abdurrrahman Wahid (mantan presiden RI ke-4) menggambarkan bahwa eksistensi Negara mengharuskan adanya ketaatan terhadap pemerintah sebagai mekanisme pengaturan hidup yang dilepaskan dari perilaku pemegang kekuasaan dalam kapasitas pribadi. Kesalahan tindakan atau keputusan pemegang kekuasaan tidaklah mengharuskan adanya perubahan dari sistem pemerintahan. Konsekuensi pandangan ini adalah begitu ia berdiri dan mampu bertahan, dan penolakan sistem alternatif sebagai pemecahan masalah-masalah utama suatu bangsa yang telah berbentuk suatu Negara.
NU menolak peniruan terhadap pakaian ala Belanda semisal dasi, celana, jas oleh umat Islam. Penolakan ini tidak karena pertimbangan agama, karena agama tidak pernah mengharamkan pakaian selama pakaian tersebut baik dan menurut aurat.

B. Saran
            Makalah ditangan anda ini Cuma sekelumit pemaparan tentang peranan NU dan kontribusinya terhadap bangsa dan Negara Indonesia, yang mungkin barang kali bisa dibuat wacana dan refrensi tentang kajian ilmiah, dan tidak menutup kemungkinan  makalah ini kurang dari kata sempurna. Oleh sebab itu saran dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun akan selalu kami tunggu.




















Senin, 17 Desember 2012

Ponpes NASRUDDIN dampit terletak di segaluh barat dampit.
Disinilah tempatnya jika mau mencari segudang ilmu yg manfaat serta barokah.

makalah aliran jabariyah










BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Munculnya berbagai kelompok teologi dalam Islam tidak terlepas dari faktor historis yang menjadi landasan kajian. Bermula ketika Nabi Muhammad saw wafat, riak-riak perpecahan di antara kaum Muslim timbul kepermukaan. Perbedaan pendapat dikalangan sahabat tentang siapa pengganti pemimpin setelah Rasul, memicu pertikaian yang tidak bisa dihindari. Semua terbungkus dalam isu-isu yang bernuansa politik, dan kemudian berkembang pada persoalan keyakinan tentang tuhan dengan mengikut sertakan kelompok-kelompok mereka sebagai pemegang “predikat kebenaran”.
Perpecahan semakin meruncing ketika pada masa pemerintahan Ali, hal yang sentral diperdebatkan adalah masalah ”Imamah” atau kepemimpin. Golongan Syi’ah yang pro terhadap Ali sangat mendukung bahwa imamah harus diserahkan kepada Ali dan keturunannya. Sedangakan Khawarij dan Mu’tazilah menentang dengan pendapat mereka, bahwa siapapun berhak menduduki kursi kepemimpinan, termasuk budak. Jika ia memang dari kaum Muslim yang cakap dan berkualitas.
Terjadinya pembunuhan Utsman ra. (17 Juni 656 M), oleh pemberontak dari Mesir. Merupakan fase kedua sengitnya perdebatan mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah[1]. Tidak berhenti sampai di situ perdebatan semakin meluas tentang persoalan “dosa kecil” sampai pada “dosa besar”. Bahkan pada ranah “keimanan”. Dan penentuan siapa yang dianggap “mu’min”, “kafir”, “fasik”, dan bagaimana kedudukan mereka di akhirat nanti, serta tindakan Tuhan bagi perbuatan mereka.
Yang kemudian menjadi tema sentral dalam pembahasan makalah ini adalah memandang “Perbuatan Manusia” dari kaca mata Jabariyah, sebagai salah satu aliran yang pernah eksis dan menjadi bahan perbincangan oleh banyak orang. Dan untuk memfokuskan bagi para pembaca, maka rumusan masalah yang akan menjadi pemaparan penulis sebagai berikut;

  1. Rumusan Masalah
  1. Bagaimana sejarah munculnya Jabariyah?
  2. Siapa para pemuka dan bagaimana doktrin aliran Jabariyah?
3.       Bagaimana analisis tentang jabariyah?

       3.   Tujuan Penulisan
  1. Mengetahui sejarah munculnya Jabariyah
  2. Mengetahui para pemuka dan doktrin aliran jabariyah
  3. Mengetahui analisis tentang jabariyah











BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah munculnya jabariyah
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Jabariyah berasal dari kata jabara yang menganndung arti memaksa dan mengharuskan nya melakukan sesuatu. Kalau dikatakan, Allah mempunyai sifat ­Al-Jabar (dalam bentuk mubalaghah), itu artinya Allah Maha Memaksa. Ungkapan al insane majbur (bentuk isim maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa. Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi jabariyah (dengan menambah ya nisbah), memilki arti suatu kelompok atau aliran (isme). Dalam bahasa Inggris, Jabariyah disebut fatalism atau predestination. Dalam kamus Jhon M.Echols, pengertian fatalism adalah kepercayaan bahwa nasib menguasai segala-galanya sedangkan predestination adalah takdir[2].Sehingga makna secara umum adalah bahwa perbuatan manusia telah ditentukan oleh Qodo dan qadar tuhan.
Menurut catatan sejarah, paham jabariyah ini diduga telah ada sejak sebalum agama Islam datang kemasyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar terhadap hidup mereka, dengan keadaan yang sangat tidak bersahabat dengan mereka pada waktu itu. Hal ini kemudian mendasari mereka untuk tidak bisa berbuat apa-apa, dan menyebabkan mereka semata-mata tunduk dan patuh kepada kehendak Tuhan[3]. Dalam dunia yang demikian, mereka tidak banyak melihat jalan untuk merubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Mereka merasa dirinya lemah dan tak berkuasa dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup yang ditimbulkan suasana padang pasir. Dalam kehidupan sehari-hari mereka banyak tergantung pada kehendak nature. Hal ini membawa mereka pada sikap fatalistis[4].
Faham al-jabar, kelihatannya ditonjolkan buat pertama kali dalam sejarah teologi Islam oleh al-Ja’d ibn Dirham. Tetapi yang menyiarkannya adalah Jahm ibn Safwan dari Khurasan. Jahm yang terrdapat dalam aliran jabariyah  sama dengan Jahm yang mendirikan golongan al-Jahmiah dalam kalangan Murji’ah sebagai sekretaris dari Syuraih ibn al-Harits, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Dalam perlawanan itu Jahm sendiri dapat ditangkap dan kemudian dihukum bunuh ditahan 131 H[5].
Sebenarnya benih-benih faham al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh di atas. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini;
  1. Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
  2. Khalifah Umar bin Khathab pernah menangkap seorang yang ketahuan mencuri. Ketika diinterogasi, pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri.” Menndengan ucapan itu, Umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama, hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera karena mengggunakan dalil Takdir Tuhan.
  3. Khalifah Ali bin Abi Thalib seusai Perang Siffin ditanya oleh seorang tua tentang qadar (ketentuan) Tuhan dalam kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang tua itu bertanya, “Bila perjalanan (menuju perang Siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tak ada pahala sebagai balasannya.” Ali menjelaskan bahwa qadha dan qadar bukanlah paksaan Tuhan. Ada pahala dan siksa sebagai balasan amal perbuatan manusia. Sekiranya qadha dan qadar itu merupakan paksaan, batallah pahala dan siksa, gugur pulalah makna janji dan ancaman Tuhan, serta tidak ada celaan Allah atas pelaku dosa dan pujian-Nya bagi orang-orang yang baik.
  4. Pada pemerintahan Bani Umayyah. Pandangan tentang al-jabar semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abas, melalui suratnya, memberikan reaksi keras kepada penduduk Syiria yang diduga berfaham jabariyah[6]
Paparan di atas telah memberikan informasi, bahwa benih-benih faham jabariyah telah lahir semenjak Rosulullah masih hidup dan berkembang semakin kompleks setelah beliau wafat bahkan ketika pemerintahan Umar dan Ali yang meluas hingga masa kekuasaan Bani Umayyah.
B.     Para pemuka dan doktrin  aliran jabariyah
Sebelum membahas lebih jauh tentang pemuka dan doktrin Jabariyah, maka perlu dipahami dengan seksama, jika terdapat beberapa penggolongan tentang aliran-aliran dalam Islam, sebagaimana yang dikutip oleh Hanafi dalam bukunya as-Syihritsani. Penggolongan tersebut sebagai berikut;
  1. Sifat-sifat Tuhan dan peng-Esaan sifat. Perselisihan tentang pokok persoalan ini menimbulkan aliran-aliran Asy-‘Ariyah, Karramiah, Mujassimah dan Mu’tazilah.
  2. Qadar dan Keadilan Tuhan. Perselisihan tentang soal ini menimbulkan golongan-golongan: Qodariah, Nijariah, Jabariyah
  3. Sama’ dan Akal (maksudnya apakah kebaikan dan keburukan hanya diterima dari syara’ atau dapat diketemukan akal pikiran), keutamaan nabi dan imamah (khalifah). Persoalan ini menimbulkan aliran: Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Karramah dan Asy’Ariyah[7].Dari penggolongan beberapa aliran tersebut, Jabariyah masuk pada ranah pembahasan Qadar. Untuk lebih memahamkan bagaimana jabariyah memandang Qadar, maka akan tersajikan pada pembahasan dibawah ini serta para pemuka kedua golongan tersebut adalah;
  1. Jahm bin Shafwan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jahm bin Safwan. Ia berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di Khufah; ia seorang da’i yang fasih dan lincah (otrator); ia menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintah Bani Umayyah di Khurasan.
Adapun doktrin Jahm tentang hal-hal yang berkaitan dengan teologi adalah;
1)      Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih terkenal dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akhirat.
2)      Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman yang diajukan kaum Murji’ah[8].
3)      Kalam Tuhan adalah Makhluk. Al-Qur’an adalah mahluk yang dibuat sebagai suatu yang baru (hadis). Adapun fahamnya tentang melihat Tuhan, Jaham berpendapat bahwa, Tuhan sekali-kali tidak mungkin dapat dilihat oleh manusia di akhirat kelak.
4)      Surga dn neraka tidak kekal. tentang keberadaan syurga-neraka, setelah manusia mendapatkan balasan di dalamnya, akhirnya lenyaplah syurga dan neraka itu. Dari pandangan ini nampaknya Jaham dengan tegas mengatakan bahwa, syurga dan neraka adalah suatu tempat yang tidak kekal[9].
  1. Ja’ad bin Dirham
Al-Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar dilingkungan pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang controversial, Bani Umayyah menolaknya. Kemudian Al-Ja’ad lari ke Kufah dan di sana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.
Doktrin pokok Ja’ad secara umum sama dengan pikiran Jahm, yaitu:
1)      Al-Quran itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada Allah.
2)      Allah tidak memiliki sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat, dan mengengar.
3)      Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya[10].
Kedu tokoh di atas termasuk pada golongan Jabariyah ekstrem, dan adapun perbedaan yang paling signifikan dari kedua golongan tersebut terletak pada pendapat tentang perbuatan manusia itu. Kelompok ekstrem memandang bahwa manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan, manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya[11].Sedangkan menurut kaum moderat, tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya.
Yang termasuk pemuka Jabariyah moderat adalah;
a)      An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar (wafat 230 H). Para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah. Di antara pendapat-pendapatnya adalah;
1)       Tidak semua perbuatan manusia bergantung kepada Tuhan secara mutlak” artinya Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan itu positif maupun negative. Tetapi dalam melakukan perbuatan itu, manusia mempunyai andil.  Daya yang diciptakan dalam diri manusia oleh Tuhan mempunyai aspek, sehingga manusia mampu melakukan perbuatan itu. Daya yang diperoleh untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan inilah yang disebut dengan kasb/acquisition[12].
2)      Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan[13].

b)      Adh- Dhirar
Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husein An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dhirar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia itu sendiri. Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.

C.      Analisis Tentang Jabariyah
Penjelasan yang tidak sedikti mengenai Jabariyah di atas, memunculkan inspirsi untuk membicarakan Jabariyah lebih dalam lagi. Hal pertama yang akan menjadi fokus utama pembicaraan adalah mengenai iktiqad Jabariyah  tentang penyerahan totalitas dalam qada dan Qadar kepada Tuhan.
Apakah buruknya orang yang berpegang kepada iktiqad jabariah ini? Secara tidak langsung, dalam iktiqad ini mereka telah menuduh Allah. Tanpa kesadaran, dia telah menuduh Allah, seolah-olah Dia  itu jahat dan zalim . kepada umat-Nya. Umpamanya, kalau seseorang itu miskin dan kemudian dia mengiktiqadkan bahwa manusia ini tidak ada usaha dan ikhtiar, kerana miskin itu sudah ditentukan kepada dirinya oleh qadha dan qadar Tuhan, dan manusia ini terpaksa tunduk saja kepada kuasa-Nya, maka seolah-olah dia telah menuduh bahawa Allah-lah yang telah memiskinkan dia, atau Allahlah yang telah menyusahkan dia. Dia tidak ada usaha dan ikhtiar untuk terlepas dari kemiskinan dan kesusahan tersebut.
Apakah bukti bahwa kebanyakan manusia ini berpegang kepada iktiqad jabariah dari segi sikap, perbuatan dan tutur katanya walaupun ia mengkaji dan kitabnya adalah kitab dan pelajaran Ahli Sunnah Wal Jamaah?
Untuk membuktikannya, coba kita tanya seseorang yang ditimpa kemiskinan tentang mengapa dia miskin. Nanti dia akan menjawab, “Apa boleh buat, sudah taqdir Allah!” Artinya, dia sudah menuduh Allah memiskinkan dirinya. Semua manusia telah terjebak kepada jabariah. Padahal dia belajar iktiqad Ahli Sunnah Wal Jamaah.
Tetapi dari kata-katanya, dia telah menunjukkan seolah-olah tidak ada pilihan untuk dirinya. artinya, apa saja yang telah menimpa dirinya, itulah yang telah ditentukan oleh Allah.
Akan tetapi kesimbangan dari analisis di atas, bahwa mempercayai takdir tidak identik dengan mempercayai paham Jabariyah. Semuanya akan menjadi demikian itu hanya apabila kita tidak memberikan peranan apapun kepada manusia dalam menciptakan perilakunya sendiri, yakni dengan menyerahkannya bulat-bulat kepada takdir. Padahal sungguh tak dapat diterima apabila kita mengatakan bahwa Allah SWT melakukan segala sesuatu tanpa perantaraan.
Qadha dan qadar tidak memiliki arti lain kecuali terbinanya sistem sebab akibat umum atas dasar pengetahuan dan kehendak Ilahi. Di antara konsekuensi penerimaan teori kausal dan kemestian terjadinya akibat pada saat adanya penyebab, serta keaslian hubungan antara keduanya, ialah bahwa kita harus mengatakan bahwa nasib setiap yang telah terjadi berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya.
Dari makna ini, kita berani mengatakan bahwa ucapan yang menyebutkan bahwa kepercayaan Jabariyah berasal dari kepercayaan kepada qadha dan qadar Ilahi, sungguh merupakan puncak kebodohan. Oleh sebab itu, wajiblah kita menyanggah kepercayaan seperti ini agar terlepas dari kesimpulan tersebut.
Pandangan sekilas tentang indikasi-indikasi paham Jabariah, merupakan refleksi dari kehidupan manusia yang secara langsung maupun tidak lansung, sengaja ataupun tidak berpulang kepada tawakal atau kepasrahan kepada Tuhannya. Hal ini menimbulkan ketenangan tersendiri setelah adanya usaha ataupun ikhtiar yang dilakukan oleh seorang hamba.



BAB III
PENUTUP
  1. A.    Kesimpulan
    1. Faham al-jabar, kelihatannya ditonjolkan buat pertama kali dalam sejarah teologi Islam oleh al-Ja’d ibn Dirham. Tetapi yang menyiarkannya adalah Jahm ibn Safwan dari Khurasan. Jahm yang terrdapat dalam aliran jabariyah  sama dengan Jahm yang mendirikan golongan al-Jahmiah dalam kalangan Murji’ah sebagai sekretaris dari Syuraih ibn al-Harits, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Dalam perlawanan itu Jahm sendiri dapat ditangkap dan kemudian dihukum bunuh ditahan 131 H. Akan tetapi benih-benihnya telah ada sejak zaman Rasulullah saw.
    2. Para pemuka Jabariyah baik yang ekstrem dan moderat adalah; Jahm bin Safwan, Ja’ad bin Dirham, An-Najja dan Adh-Dhirar. Adapun doktrin aliran ini; Kelompok ekstrem memandang bahwa manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan, manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya. sedangkan menurut kaum moderat, tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition).  Dalam faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan.
    3. Analisis tentang Jabariyah bermaksud mengaitkan iktiqad yang dipegangnya dengan realitas kehidupan manusia sebagai hamba. Kepasrahan kepada Tuhan atas segala usaha ataupun ikhtiar menunjukkan bahwa manusia akan kembali kepada Tuhannnya sebagai pihak penentu.

B.     Saran
Tersaji dan tersusunnya makalah dengan tema Jabariyah, berusaha mengungkap historisasi pertumbuhannya, yang dimulai dari benih sampai pada terbentuknya menjadi institusi dengan beberapa doktrin yang menjadi karakteristik aliran tersebut. Para pemuka dan penjelasan lebih lanjut tentang doktrin yang diajarkan menjadi ulasan kesekian kalinya.
Sampainya tulisan ini kepada para pembaca, diharapkan mampu memancing gairah kepedulian untuk ikut berpartisipasi menuju pembahasan yang lebih kompleks lagi. Oleh karena itu penulis sedikit menyengaja memberikan ruang hampa untuk tempat para partisipator menyumbangkan ide-ide yang konstruktif dan imajinatif sebagai calon pemuka intelektual masa depan.
Sehingga adanya kekurang puasan ketika membaca hasil karya ini, adalah implikasi bahwa penulis termasuk hamba Tuhan yang eksis di alam semesta ini, dan memerlukan potensi orang lain untuk lebih produktif.
Karena itulah, tarian lisan yang berupa gerak positif maupun negative terhadap kalimat-kalimat ini adalah landasan bagi kesempurnaan hakikat yang dituju.


[1] K. Ali, Sejarah Islam Tarikh Pramodern ( Cet. Ke-3 ; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000 ), h. 132.

[2] Jhon M.Echols, Kamus Inggris Indonesia,(Cet.XXVIII, Jakarta:Gramedia,2006), h.234 dan 443
[3] Abuddin Nata, M.A, Ilmu kalam, Filsafat, dan tasawuf,. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), H.40
[4]Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, ( Cet.V, Jakarta: UI Press, 1986), h.32.
[5] Ibid., h.33.

[6] Rosihon Anwar, Ilmu Kalam….,h.64-65
[7] M. Hanafi, Theologi Islam, (Jakarta:Pustaka Al-Husna, 1992), h.58

[8] Rosihon Anwar, Ilmu Kalam…, h.67
[9] Taib Thakhir Abd. Mu’in, Ilmu Kalam ( Cet. Ke- 8; Jakarta : Penerbit Wijaya, 1980 ), 102.

[10] Rosihon Anwar, Ilmu Kalam…, h.68
[11] Harun Nasution, Teologi Islam…, h.34.

[12] Rosihon Anwar, Ilmu Kalam…, h.68
[13] Sahilun Nasir A, Pengantar Ilmu Kalam.( Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1994)