BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Munculnya berbagai kelompok teologi dalam
Islam tidak terlepas dari faktor historis yang menjadi landasan kajian. Bermula
ketika Nabi Muhammad saw wafat, riak-riak perpecahan di antara kaum Muslim
timbul kepermukaan. Perbedaan pendapat dikalangan sahabat tentang siapa
pengganti pemimpin setelah Rasul, memicu pertikaian yang tidak bisa dihindari.
Semua terbungkus dalam isu-isu yang bernuansa politik, dan kemudian berkembang
pada persoalan keyakinan tentang tuhan dengan mengikut sertakan
kelompok-kelompok mereka sebagai pemegang “predikat kebenaran”.
Perpecahan semakin meruncing ketika pada
masa pemerintahan Ali, hal yang sentral diperdebatkan adalah masalah ”Imamah”
atau kepemimpin. Golongan Syi’ah yang pro terhadap Ali sangat mendukung
bahwa imamah harus diserahkan kepada Ali dan keturunannya. Sedangakan Khawarij
dan Mu’tazilah menentang dengan pendapat mereka, bahwa siapapun berhak menduduki
kursi kepemimpinan, termasuk budak. Jika ia memang dari kaum Muslim yang cakap
dan berkualitas.
Terjadinya pembunuhan Utsman ra. (17 Juni
656 M), oleh pemberontak dari Mesir. Merupakan fase kedua sengitnya perdebatan
mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah[1].
Tidak berhenti sampai di situ perdebatan semakin meluas tentang persoalan “dosa
kecil” sampai pada “dosa besar”. Bahkan pada ranah “keimanan”. Dan penentuan
siapa yang dianggap “mu’min”, “kafir”, “fasik”, dan bagaimana kedudukan mereka
di akhirat nanti, serta tindakan Tuhan bagi perbuatan mereka.
Yang kemudian menjadi tema sentral dalam
pembahasan makalah ini adalah memandang “Perbuatan Manusia” dari kaca mata
Jabariyah, sebagai salah satu aliran yang pernah eksis dan menjadi bahan
perbincangan oleh banyak orang. Dan untuk memfokuskan bagi para pembaca, maka
rumusan masalah yang akan menjadi pemaparan penulis sebagai berikut;
- Rumusan Masalah
- Bagaimana sejarah munculnya Jabariyah?
- Siapa para pemuka dan bagaimana doktrin aliran Jabariyah?
3.
Bagaimana
analisis tentang jabariyah?
3. Tujuan Penulisan
- Mengetahui sejarah munculnya Jabariyah
- Mengetahui para pemuka dan doktrin aliran jabariyah
- Mengetahui analisis tentang jabariyah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
munculnya jabariyah
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara
yang berarti memaksa. Jabariyah berasal dari kata jabara yang
menganndung arti memaksa dan mengharuskan nya melakukan sesuatu. Kalau
dikatakan, Allah mempunyai sifat Al-Jabar (dalam bentuk mubalaghah),
itu artinya Allah Maha Memaksa. Ungkapan al insane majbur (bentuk
isim maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa.
Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi jabariyah
(dengan menambah ya nisbah), memilki arti suatu kelompok atau aliran
(isme). Dalam bahasa Inggris, Jabariyah disebut fatalism atau
predestination. Dalam kamus Jhon M.Echols, pengertian fatalism adalah
kepercayaan bahwa nasib menguasai segala-galanya sedangkan predestination
adalah takdir[2].Sehingga
makna secara umum adalah bahwa perbuatan manusia telah ditentukan oleh Qodo dan
qadar tuhan.
Menurut catatan sejarah, paham jabariyah
ini diduga telah ada sejak sebalum agama Islam datang kemasyarakat Arab.
Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan
pengaruh besar terhadap hidup mereka, dengan keadaan yang sangat tidak
bersahabat dengan mereka pada waktu itu. Hal ini kemudian mendasari mereka
untuk tidak bisa berbuat apa-apa, dan menyebabkan mereka semata-mata tunduk dan
patuh kepada kehendak Tuhan[3].
Dalam dunia yang demikian, mereka tidak banyak melihat jalan untuk merubah
keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Mereka merasa
dirinya lemah dan tak berkuasa dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup yang
ditimbulkan suasana padang pasir. Dalam kehidupan sehari-hari mereka banyak
tergantung pada kehendak nature. Hal ini membawa mereka pada sikap fatalistis[4].
Faham al-jabar, kelihatannya
ditonjolkan buat pertama kali dalam sejarah teologi Islam oleh al-Ja’d ibn
Dirham. Tetapi yang menyiarkannya adalah Jahm ibn Safwan dari Khurasan. Jahm
yang terrdapat dalam aliran jabariyah sama dengan Jahm yang
mendirikan golongan al-Jahmiah dalam kalangan Murji’ah sebagai sekretaris dari
Syuraih ibn al-Harits, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah.
Dalam perlawanan itu Jahm sendiri dapat ditangkap dan kemudian dihukum bunuh ditahan
131 H[5].
Sebenarnya benih-benih faham al-jabar sudah
muncul jauh sebelum kedua tokoh di atas. Benih-benih itu terlihat dalam
peristiwa sejarah berikut ini;
- Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
- Khalifah Umar bin Khathab pernah menangkap seorang yang ketahuan mencuri. Ketika diinterogasi, pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri.” Menndengan ucapan itu, Umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama, hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera karena mengggunakan dalil Takdir Tuhan.
- Khalifah Ali bin Abi Thalib seusai Perang Siffin ditanya oleh seorang tua tentang qadar (ketentuan) Tuhan dalam kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang tua itu bertanya, “Bila perjalanan (menuju perang Siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tak ada pahala sebagai balasannya.” Ali menjelaskan bahwa qadha dan qadar bukanlah paksaan Tuhan. Ada pahala dan siksa sebagai balasan amal perbuatan manusia. Sekiranya qadha dan qadar itu merupakan paksaan, batallah pahala dan siksa, gugur pulalah makna janji dan ancaman Tuhan, serta tidak ada celaan Allah atas pelaku dosa dan pujian-Nya bagi orang-orang yang baik.
- Pada pemerintahan Bani Umayyah. Pandangan tentang al-jabar semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abas, melalui suratnya, memberikan reaksi keras kepada penduduk Syiria yang diduga berfaham jabariyah[6].
Paparan di atas telah memberikan informasi,
bahwa benih-benih faham jabariyah telah lahir semenjak Rosulullah masih hidup
dan berkembang semakin kompleks setelah beliau wafat bahkan ketika pemerintahan
Umar dan Ali yang meluas hingga masa kekuasaan Bani Umayyah.
B. Para
pemuka dan doktrin aliran jabariyah
Sebelum membahas lebih jauh tentang pemuka
dan doktrin Jabariyah, maka perlu dipahami dengan seksama, jika terdapat
beberapa penggolongan tentang aliran-aliran dalam Islam, sebagaimana yang
dikutip oleh Hanafi dalam bukunya as-Syihritsani. Penggolongan tersebut sebagai
berikut;
- Sifat-sifat Tuhan dan peng-Esaan sifat. Perselisihan tentang pokok persoalan ini menimbulkan aliran-aliran Asy-‘Ariyah, Karramiah, Mujassimah dan Mu’tazilah.
- Qadar dan Keadilan Tuhan. Perselisihan tentang soal ini menimbulkan golongan-golongan: Qodariah, Nijariah, Jabariyah
- Sama’ dan Akal (maksudnya apakah kebaikan dan keburukan hanya diterima dari syara’ atau dapat diketemukan akal pikiran), keutamaan nabi dan imamah (khalifah). Persoalan ini menimbulkan aliran: Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Karramah dan Asy’Ariyah[7].Dari penggolongan beberapa aliran tersebut, Jabariyah masuk pada ranah pembahasan Qadar. Untuk lebih memahamkan bagaimana jabariyah memandang Qadar, maka akan tersajikan pada pembahasan dibawah ini serta para pemuka kedua golongan tersebut adalah;
- Jahm bin Shafwan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jahm bin
Safwan. Ia berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di Khufah; ia seorang da’i
yang fasih dan lincah (otrator); ia menjabat sebagai sekretaris Harits bin
Surais, seorang mawali yang menentang pemerintah Bani Umayyah di Khurasan.
Adapun doktrin Jahm tentang hal-hal yang berkaitan dengan
teologi adalah;
1) Manusia tidak mampu
untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak
sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini
lebih terkenal dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep
iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akhirat.
2) Iman adalah ma’rifat
atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep
iman yang diajukan kaum Murji’ah[8].
3) Kalam Tuhan adalah
Makhluk. Al-Qur’an adalah mahluk yang dibuat sebagai suatu yang baru
(hadis). Adapun fahamnya tentang melihat Tuhan, Jaham berpendapat bahwa, Tuhan
sekali-kali tidak mungkin dapat dilihat oleh manusia di akhirat kelak.
4) Surga dn neraka tidak
kekal. tentang keberadaan syurga-neraka, setelah manusia mendapatkan
balasan di dalamnya, akhirnya lenyaplah syurga dan neraka itu. Dari pandangan
ini nampaknya Jaham dengan tegas mengatakan bahwa, syurga dan neraka adalah
suatu tempat yang tidak kekal[9].
- Ja’ad bin Dirham
Al-Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus.
Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan
teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar dilingkungan pemerintah Bani
Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang controversial, Bani
Umayyah menolaknya. Kemudian Al-Ja’ad lari ke Kufah dan di sana ia bertemu
dengan Jahm, serta mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan
disebarluaskan.
Doktrin pokok Ja’ad secara umum sama dengan pikiran Jahm,
yaitu:
1) Al-Quran itu adalah
makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat
disifatkan kepada Allah.
2) Allah tidak memiliki
sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat, dan
mengengar.
3) Manusia terpaksa oleh
Allah dalam segala-galanya[10].
Kedu tokoh di atas termasuk pada golongan
Jabariyah ekstrem, dan adapun perbedaan yang paling signifikan dari
kedua golongan tersebut terletak pada pendapat tentang perbuatan manusia itu.
Kelompok ekstrem memandang bahwa manusia tidak mempunyai daya, tidak
mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan, manusia dalam
perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan
pilihan baginya[11].Sedangkan
menurut kaum moderat, tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik
perbuatan jahat maupun baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya.
Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatannya.
Yang termasuk pemuka Jabariyah moderat adalah;
a) An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar (wafat
230 H). Para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah. Di
antara pendapat-pendapatnya adalah;
1) Tidak semua
perbuatan manusia bergantung kepada Tuhan secara mutlak” artinya Tuhanlah
yang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan itu positif maupun negative.
Tetapi dalam melakukan perbuatan itu, manusia mempunyai andil. Daya yang
diciptakan dalam diri manusia oleh Tuhan mempunyai aspek, sehingga manusia
mampu melakukan perbuatan itu. Daya yang diperoleh untuk mewujudkan
perbuatan-perbuatan inilah yang disebut dengan kasb/acquisition[12].
2) Tuhan tidak dapat dilihat
di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa tuhan
dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga
manusia dapat melihat Tuhan[13].
b) Adh- Dhirar
Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr.
Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husein An-Najjar, yakni bahwa
manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Manusia mempunyai
bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam
melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dhirar mengatakan bahwa satu perbuatan
dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia
tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia itu sendiri.
Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
C.
Analisis Tentang Jabariyah
Penjelasan yang tidak sedikti mengenai
Jabariyah di atas, memunculkan inspirsi untuk membicarakan Jabariyah lebih
dalam lagi. Hal pertama yang akan menjadi fokus utama pembicaraan adalah
mengenai iktiqad Jabariyah tentang penyerahan totalitas dalam qada dan
Qadar kepada Tuhan.
Apakah buruknya orang yang berpegang kepada
iktiqad jabariah ini? Secara tidak langsung, dalam iktiqad ini mereka telah
menuduh Allah. Tanpa kesadaran, dia telah menuduh Allah, seolah-olah Dia
itu jahat dan zalim . kepada umat-Nya. Umpamanya, kalau seseorang itu
miskin dan kemudian dia mengiktiqadkan bahwa manusia ini tidak ada usaha dan
ikhtiar, kerana miskin itu sudah ditentukan kepada dirinya oleh qadha dan qadar
Tuhan, dan manusia ini terpaksa tunduk saja kepada kuasa-Nya, maka seolah-olah
dia telah menuduh bahawa Allah-lah yang telah memiskinkan dia, atau Allahlah
yang telah menyusahkan dia. Dia tidak ada usaha dan ikhtiar untuk terlepas dari
kemiskinan dan kesusahan tersebut.
Apakah bukti bahwa kebanyakan manusia ini
berpegang kepada iktiqad jabariah dari segi sikap, perbuatan dan tutur katanya
walaupun ia mengkaji dan kitabnya adalah kitab dan pelajaran Ahli Sunnah Wal
Jamaah?
Untuk membuktikannya, coba kita tanya seseorang yang ditimpa
kemiskinan tentang mengapa dia miskin. Nanti dia akan menjawab, “Apa boleh
buat, sudah taqdir Allah!” Artinya, dia sudah menuduh Allah memiskinkan
dirinya. Semua manusia telah terjebak kepada jabariah. Padahal dia belajar
iktiqad Ahli Sunnah Wal Jamaah.
Tetapi dari kata-katanya, dia telah
menunjukkan seolah-olah tidak ada pilihan untuk dirinya. artinya, apa saja yang
telah menimpa dirinya, itulah yang telah ditentukan oleh Allah.
Akan tetapi kesimbangan dari analisis di
atas, bahwa mempercayai takdir tidak identik dengan mempercayai paham
Jabariyah. Semuanya akan menjadi demikian itu hanya apabila kita tidak
memberikan peranan apapun kepada manusia dalam menciptakan perilakunya sendiri,
yakni dengan menyerahkannya bulat-bulat kepada takdir. Padahal sungguh tak
dapat diterima apabila kita mengatakan bahwa Allah SWT melakukan segala sesuatu
tanpa perantaraan.
Qadha dan qadar tidak memiliki arti lain
kecuali terbinanya sistem sebab akibat umum atas dasar pengetahuan dan kehendak
Ilahi. Di antara konsekuensi penerimaan teori kausal dan kemestian terjadinya
akibat pada saat adanya penyebab, serta keaslian hubungan antara keduanya,
ialah bahwa kita harus mengatakan bahwa nasib setiap yang telah terjadi
berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya.
Dari makna ini, kita berani mengatakan
bahwa ucapan yang menyebutkan bahwa kepercayaan Jabariyah berasal dari
kepercayaan kepada qadha dan qadar Ilahi, sungguh merupakan puncak kebodohan.
Oleh sebab itu, wajiblah kita menyanggah kepercayaan seperti ini agar terlepas
dari kesimpulan tersebut.
Pandangan sekilas tentang indikasi-indikasi
paham Jabariah, merupakan refleksi dari kehidupan manusia yang secara langsung
maupun tidak lansung, sengaja ataupun tidak berpulang kepada tawakal atau
kepasrahan kepada Tuhannya. Hal ini menimbulkan ketenangan tersendiri setelah
adanya usaha ataupun ikhtiar yang dilakukan oleh seorang hamba.
BAB III
PENUTUP
- A. Kesimpulan
- Faham al-jabar, kelihatannya ditonjolkan buat pertama kali dalam sejarah teologi Islam oleh al-Ja’d ibn Dirham. Tetapi yang menyiarkannya adalah Jahm ibn Safwan dari Khurasan. Jahm yang terrdapat dalam aliran jabariyah sama dengan Jahm yang mendirikan golongan al-Jahmiah dalam kalangan Murji’ah sebagai sekretaris dari Syuraih ibn al-Harits, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Dalam perlawanan itu Jahm sendiri dapat ditangkap dan kemudian dihukum bunuh ditahan 131 H. Akan tetapi benih-benihnya telah ada sejak zaman Rasulullah saw.
- Para pemuka Jabariyah baik yang ekstrem dan moderat adalah; Jahm bin Safwan, Ja’ad bin Dirham, An-Najja dan Adh-Dhirar. Adapun doktrin aliran ini; Kelompok ekstrem memandang bahwa manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan, manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya. sedangkan menurut kaum moderat, tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition). Dalam faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan.
- Analisis tentang Jabariyah bermaksud mengaitkan iktiqad yang dipegangnya dengan realitas kehidupan manusia sebagai hamba. Kepasrahan kepada Tuhan atas segala usaha ataupun ikhtiar menunjukkan bahwa manusia akan kembali kepada Tuhannnya sebagai pihak penentu.
B.
Saran
Tersaji dan tersusunnya makalah dengan tema
Jabariyah, berusaha mengungkap historisasi pertumbuhannya, yang dimulai dari
benih sampai pada terbentuknya menjadi institusi dengan beberapa doktrin yang
menjadi karakteristik aliran tersebut. Para pemuka dan penjelasan lebih lanjut
tentang doktrin yang diajarkan menjadi ulasan kesekian kalinya.
Sampainya tulisan ini kepada para pembaca,
diharapkan mampu memancing gairah kepedulian untuk ikut berpartisipasi menuju
pembahasan yang lebih kompleks lagi. Oleh karena itu penulis sedikit menyengaja
memberikan ruang hampa untuk tempat para partisipator menyumbangkan ide-ide
yang konstruktif dan imajinatif sebagai calon pemuka intelektual masa depan.
Sehingga adanya kekurang puasan ketika
membaca hasil karya ini, adalah implikasi bahwa penulis termasuk hamba Tuhan
yang eksis di alam semesta ini, dan memerlukan potensi orang lain untuk lebih
produktif.
Karena itulah, tarian lisan yang berupa gerak positif maupun
negative terhadap kalimat-kalimat ini adalah landasan bagi kesempurnaan hakikat
yang dituju.
[1] K. Ali, Sejarah Islam Tarikh Pramodern ( Cet. Ke-3 ;
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000 ), h. 132.
[3]
Abuddin
Nata, M.A, Ilmu kalam, Filsafat, dan tasawuf,. (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1995), H.40
[4]Harun
Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (
Cet.V, Jakarta: UI Press, 1986), h.32.
[6]
Rosihon Anwar, Ilmu Kalam….,h.64-65
[7]
M. Hanafi, Theologi
Islam, (Jakarta:Pustaka Al-Husna, 1992), h.58
[8]
Rosihon Anwar, Ilmu Kalam…,
h.67
[9]
Taib Thakhir Abd.
Mu’in, Ilmu Kalam ( Cet. Ke- 8; Jakarta : Penerbit Wijaya, 1980 ), 102.
[10]
Rosihon Anwar, Ilmu Kalam…,
h.68
[11]
Harun Nasution, Teologi
Islam…, h.34.
[12]
Rosihon Anwar, Ilmu Kalam…,
h.68
[13]
Sahilun Nasir A, Pengantar
Ilmu Kalam.( Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1994)
kesuwun
BalasHapus